Pulau Papua atau New Guinea memiliki keanekaragaman tumbuhan tertinggi dari beberapa Pulau di Dunia. Pulau tropis terbesar di dunia ini, memiliki 16 persen keanekaragaman tumbuhan lebih banyak daripada Madagaskar sebagai Pusat Keanakaragaman Hayati. Pulau ini memiliki lebih dari 13 ribu spesies.
Hal ini berdasarkan studi kolaborasi global antara personil Balitbangda Provinsi Papua Barat dan Universitas Papua bersama dengan para ahli dari 19 negara. Ini merupakan studi pertama yang merangkum data dan membuat daftar semua spesies tumbuhan di Pulau Papua.
Para Ilmuwan berharap dengan data terbaru ini akan membantu percepatan penelitian keanekaragaman tumbuhan, sebagai informasi dasar bagi kebijakan dan perencanaan pelestarian dan konservasi sumber daya alam serta mendukung kebijakan pembangunan berkelanjutan di Tanah Papua, khususnya di Provinsi Papua Barat.
Para penulis dari berbagai institusi menemukan ada 13.634 spesies tumbuhan dari 1742 genus dan 264 famili. Jumlah ini memposisikan Pulau Papua sebagai pulau dengan keanekaragaman tumbuhan terkaya di dunia. Data ini menunjukkan bahwa Papua memiliki lebih banyak dari Madagascar yang telah diketahui sebagai pusat keanekaragaman hayati (16 persen), yang tercatat memiliki 11.488 spesies.
Dari data tersebut, para ilmuwan menemukan 68 persen (9.301) merupakan spesies tumbuhan endemik di Pulau Papua. Artinya, lebih dari dua pertiga dari tumbuhan tersebut tidak ditemukan di tempat lain.
Hal ini menjadikan Pulau Papua sebagai satu-satunya kepulauan di Asia Tenggara yang memiliki spesies endemik daripada yang non-endemik dan tidak tersaingi di Asia Tropis.
Dari keunikan ini, para ilmuwan percaya, berdasarkan daratan yang lebih luas dan keragaman habitat, lokasinya ditandai dengan adanya persimpangan antara Asia Tenggara, Australia dan Pasifik, serta memiliki salah satu sejarah tektonik yang paling kompleks di dunia.
Charlie D. Heatubun, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Papua Barat dan juga uru Besar Botani Hutan pada Fakultas Kehutanan Universitas Papua Manokwari yang terlibat dalam penelitian ini mengatakan bahwa Pulau Papua telah menarik perhatian naturalis selama berabad-abad.
“Pulau Papua merupakan rumah bagi ekosistem yang paling dilestarikan di planet ini. Dari hutan bakau, hamparan luas hutan dataran rendah hingga padang rumput Alpine yang tidak tertandingi pada tempat lain di wilayah Asia-Pasifik,” kata Prof. Charlie D. Heatubun dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Kamis (6/8).
Prof. Charlie menjelaskan, para ahli Botani telah mengidentifikasi dan memberi nama pada koleksi tumbuhan di Papua sejak abad ke-17. Mereka juga menyimpan sampel koleksi tumbuhan berupa herbarium di Papua New Guinea, Indonesia, Belanda, Inggris.
Namun, meskipun ada kemajuan penting dalam beberapa dekade terakhir dalam menyelesaikan taksonomi dari banyak tumbuhan di Pulau Papua, publikasi tersebar. Menurutnya hal ini karena sebagian besar para ahli Botani terus bekerja secara independen satu sama lain.
Untuk mengatasi ketidakpastian jumlah tumbuhan yang diketahui secara ilmu pengetahuan di Pulau Papua, berkisar antara 9.000 – 25.000 spesies, 99 ahli Botani memverifikasi 23.000 nama spesies tumbuhan lebih dari 704.000 spesimen dalam upaya kolaborasi besar.
“Kami menemukan bahwa Pulau Papua memiliki hampir tiga kali lipat dari jumlah spesies tumbuhan berpuluh di Pulau Jawa (4.598 spesies) dan 1,4 kali jumlah spesies tumbuhan berpembuluh dari Filipina (9.432 spesies). Ini merupakan dua wilayah di Asia Tenggara yang telah mempublikasikan flora-nya,” jelas Charlie.
Dari jumlah tersebut, Anggrek menyumbang 20 persen dari flora di Papua New Guinea dan 17 persen dari wilayah Indonesia, sebanding dengan negara-negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi seperti Ecuador (20 persen) dan Colombia (15 persen) dan spesies pohon menyumbang 29 persen dari semua flora. Sebagai perbandingan, Amazon memiliki 2,6 kali lebih banyak spesies pohon, tetapi luas daerahnya 6,4 kali lebih besar.
Sejak tahun 1970, sebanyak 2.812 spesies baru dipublikasi dari Pulau Papua dan para penulis memperkirakan bahwa dalam 50 tahun, akan mencapai 4.000 spesies akan ditambahkan ke dalam daftar ini. Hasil penelitian ini diterbitkan pada jurnal Nature pada Rabu (5/8).