Halodunia.net – Jalanan itu sangat sepi dan gelap. Daripada tetap tinggal di puskesmas itu, lebih baik aku lari saja ke perkampungan warga. Walau pun perkampungan itu jaraknya cukup jauh dari puskesmas, aku tetap memberanikan diri menembus gelap dan kabut.
Langkahku terhenti saat mendengar suara derum motor. Semakin dekat, suara itu semakin jelas. Lalu, cahaya lampu motor menyilaukan mataku. Sambil memicingkan mata, kuhalangi mataku dengan tangan kanan.
Ternyata itu Pak Sukra. Kebetulan sekali dia datang. Aku langsung lari menghampirinya.
“Pak, tolong saya, Pak!”
“Lho, Mbak Maya kok ada di sini?” tanya Pak Sukra.
“Di puskesmas ada setan, Pak!”
“Hah, setan?” Pak Sukra terkejut mendengar kesaksianku.
“Iya, Pak. Tolong antar saya pulang.”
“Ya sudah naik, Mbak.”
Aku pun segera menaiki motornya Pak Sukra. Di perjalanan dia terus menasihatiku untuk tidak melamun. Katanya saat kita melamun, setan dan jin mudah mengelabui kita.
“Aku nggak melamun, Pak. Aku lihat dengan jelas kalau ada pasien yang mau melahirkan,” sanggahku.
“Nah, saya yakin itu bukan manusia. Lagipula warga kampung sini pada nggak mau pergi ke bidan, Mbak.”
“Saya tahu itu, Pak. Ayo, Pak, bawa motornya ngebut aja saya takut,” pintaku.
Wajah wanita tadi masih melekat dibenakku. Apalagi saat dia memuntahkan darah hitam dan kental. Darah itu juga bau. Aku yakin nafsu makanku hilang untuk beberapa hari ke depan.
Baca Saja : Wajib Tahu Fakta Fakta Dan Manfaat Bioglass Mci yang Sebenarnya
“Tadinya saya mau anterin makanan buat Mbak Maya ke puskesmas. Kebetulan istri saya masak banyak,” Pak Sukra memperlambat kembali laju motornya karena sudah memasuki perkampungan warga.
“Terima kasih banyak, Pak. Untung saya ketemu sama bapak,” kataku. Akhirnya aku bisa bernapas lega.
Tak lama kemudian kami tiba di depan rumah Dinda. Kulihat Dinda sedang berdiri di depan pintu. Dia ternyata menungguku pulang. Aku tidak sempat memberitahunya kalau akan menginap di puskesmas.
“Mampir dulu saja, Pak,” kataku pada Pak Sukra.
“Oh, terima kasih, Mbak. Istri saya udah nunggin di rumah. Ini makanannya Mbak ambil aja,” Pak Sukra menyodorkan rantang yang dibungkus plastik hitam.
“Sekali lagi terima kasih banyak ya, Pak. Jadi ngerepotin terus,” kuambil rantang itu.
“Iya nggak apa-apa, Mbak. Dimakan ya, Mbak. Itu masakan istri saya pasti enak,” ujar Pak Sukra sambil nyengir.
“Iya, Pak, pasti.”
Dia pun pergi. Aku dan Dinda kemudian masuk ke dalam rumah.
“Maaf, Mbak nggak bilang ke kamu kalau mau nginep.”
“Iya, Mbak, nggak apa-apa. Sebenarnya akunyariin Mbak Maya karena dari tadi siang Mbokku minta dikeloni sama Mbak.”
Langkahku terhenti karena mendengar penjelasan Dinda.
“Minta dikeloni?” tanyaku sambil mengerutkan dahi.
“Iya. Tolong ya, Mbak. Dari siang Mbok nggak mau makan. Nyariin Mbak Maya terus,” Dinda memegang lengan kananku.
Ini ada apa lagi? Baru saja aku melihat hantu di puskesmas dan sekarang disuruhngelonin Mbok Ibah yang menyeramkan itu.
“Gimana ya, Din. Emmm…,” aku menggaruk kepala yang tidak gatal. “Kamu tahu sendiri kan kalau aku takut sama Mbokmu itu.”
“Ayolah, Mbak, kali ini saja. Biar Mbok saya mau makan, Mbak. Kasihan dia,” kata Dinda. Kulihat matanya sudah berkaca-kaca.
Aku tidak tega kalau harus melihatnya menangis.
“Baiklah. Tapi, jangan lama-lama,” akhirnya aku mengiyakannya.
Dinda membawaku ke kamar Mbok Ibah. Seperti biasa engsel pintu itu berbunyi nyaring saat dibuka.
“Maya…,” desis Mbok Ibah. Suara itu kering dan terkesan mengerikan.
“Dari siang manggil-manggil nama Mbak Maya terus.”
Mbok Ibah tidur di atas ranjangnya dengan posisi membelakangiku. Ragu-ragu aku mendekatinya.
“Mbok…?” sapaku.
“Keloni aku, Nak…,” Mbok Ibah membalikkan badan. Dia menatapku dalam-dalam.
“Iya, Mbok. Tapi, habis ini Mbok harus makan ya,” aku duduk di tepi tempat tidurnya.
Aku berbaring di samping Mbok Ibah. Bantal yang kutiduri bau minyak jelantah. Setahuku orang-orang tua dulu memang gemar memakai minyak jelantah untuk rambutnya.
Mbok Ibah lalu membelakangiku. Perlahan kupeluk tubuhnya yang kurus dan ringkih. Tubuh itu tinggal tulang dan kulit. Aku dapat merasakan benjolan-benjolan tulang di tubuhnya. Dinda malah keluar lalu menutup pintu kamar.
“Dinda mau ke mana?” tanyaku sambil bangkit dari tempat tidur. Jujur saja aku takut kalau harus berduaan di kamar dengan Mbok Ibah.
“Dinda?” aku terus memanggilnya.
Dan saat menoleh kembali ke Mbok Ibah, posisi tidurnya berubah. Sekarang ia telentang. Kedua matanya melotot dan mulutnya menganga.
“Mbok?!” kusentuh lehernya.
Tidak ada denyut nadi di sana.
“Mbok!” kusentuh juga dada kirinya. Tak ada detak jantung di sana.
Dia meninggal entah kenapa. Kejadian ini membuatku panik dan langsung lari keluar kamar mencari Dinda.
Baca Saja : MCI Indonesia Terbaik