Sepertinya tidaklah berlebihan jika menyebut Sumatera sebagai ranah pergerakan Indonesia. Pulau terbesar ke-6 di dunia itu tercatat telah melahirkan begitu banyak tokoh pejuang. Sebut saja Mohammad Hatta, Sisingamangraja, Agus Salim, Tan Malaka, Mohammad Natsir, Sutan Sjahrir, Cut Nyak Dien, dan masih banyak lagi. Tanah yang dihuni oleh beragam suku itu memang tidak pernah kehabisan orang-orang besar. Dari sana jugalah peristiwa-peristiwa penting tercipta.
Nama Cut Nyak Dien tercatat di dalam sejarah bangsa ini sebagai salah satu pejuang besar dari kalangan perempuan. Namun Cut Nyak Dien bukan satu-satunya pejuang perempuan dari Sumatera. Tersebutlah Rasuna Said, perempuan Minang yang kini namanya diabadikan sebagai salah satu nama jalan protokol di Jakarta.
Hajjah Rangkayo Rasuna Said lahir pada 14 September 1910 di desa Panyinggahan, Maninjau, Agam, Sumatera Barat. Ia berasal dari keluarga terpandang di Maninjau. Ayahnya, Haji Muhammad Said, merupakan salah seorang tokoh pergerakan di Sumatera Barat. Haji Said juga dikenal sebagai seorang pengusaha sukses.
Rasuna menempuh pendidikan dasarnya di Sekolah Desa yang letaknya tidak jauh dari Danau Maninjau. Sebenarnya, sebagai seorang anak dari keluarga terpandang Rasuna bisa saja mengecap pendidikan di sekolah Belanda, seperti kerabatnya yang lain. Namun, menurut Jajang Jahroni dalam Haji Rangkyo Rasuna Said: Pejuang Politik dan Penulis Pergerakan, Rasuna memilih sekolah agama yang tidak jauh dari rumahnya. Ia bersekolah di sana dari tahun 1916 sampai 1921.
Rasuna lalu melanjutkan sekolah ke Pesantren Ar-Rasyidiyah, di bawah naungan Syekh Abdul Rasyid. Ia tercatat sebagai satu-satunya santri perempuan di sana, mengingat lingkungan pesantren kala itu didominasi anak laki-laki. Pada 1923, Rasuna masuk Sekolah Diniyah putri di Padang Panjang, yang didirkan oleh Rahmah El Yunusiah. Sekolah itu merupakan bagian dari Sekolah Diniyah pimpinan Zainuddin Labai El Yunus.
“Popularitas Rasuna waktu itu jauh di atas Rahmah. Sebagian besar pelajar Diniyah Putri sangat menggandrungi Rasuna, bahkan mereka terpengaruh pola pikirnya,” tulis Jahroni.
Hal itu tentu tidak disenangi para guru Diniyah Putri. Mereka tidak ingin Rasuna memberi contoh tidak baik kepada murid lainnya. Beberapa kali juga Rahmah, selaku pimpinan mencoba menyelesaikan masalah itu dengan Rasuna. Tetapi tidak pernah ada penyelesaian yang tepat. Hingga akhirnya dibentuk sebuah panitia, diketuai tokoh yang cukup disegani Inyik Bandaro. Itu sebenarnya, imbuh Jahroni, merupakan usaha menyingirkan Rasuna secara halus. Dan benar saja, cara itu membuat Rasuna memilih menarik diri dari Diniyah Putri.
Murid Haji Rasul
Setelah keluar dari Diniyah Putri, Rasuna memutuskan belajar secara pribadi kepada tokoh-tokoh intelektual Minangkabau. Satu di antara guru-gurunya itu adalah Haji Abdul Karim Amarullah, yang dikenal juga dengan nama Haji Rasul. Diceritakan Sally White dalam Rasuna Said: Lioness of the Indonesian Independece Movement, Haji Rasul merupakan pendiri Sekolah Thawalib di Padang Panjang. Sekolah ini tercatat sebagai sekolah Islam modern pertama di Indonesia.
“Terinspirasi dari Sekolah Diniyah, Haji Rasul memperkenalkan jenjang kelas, teks buku, dan metode pengajaran modern berasis kurikulum. Sekolah Thawalib khusus mengajarkan teori dan aspek filosofi dalam Islam,” tulis Sally.
Di bawah bimbingan Haji Rasul, pemikiran Rasuna semakin terbuka. Ia belajar banyak hal tentang perjuangan dan perlawanan. Untuk pertama kalinya juga Rasuna mendengar tentang pentingnya pembaharuan pemikiran keagamaan dan kebebasan berpikir. Haji Rasul adalah salah seorang pelopor gerakan kaum muda di Minangkabau. Gerakan kaum muda itu cenderung berpikir progresif, dan mengecam segala bentuk penyelewengan ajaran Islam yang berkedok adat. Bagi kaum ini ajaran Islam harus sesuai dengan contoh Rasullullah SAW.
Rasuna selalu berusaha menyempatkan diri mengikuti setiap pengajian yang diadakan Haji Rasul. Ia ingin menerima banyak pemikiran dari gurunya itu. Pengajian Haji Rasul kerap dibanjir para kaum muda dari berbagai daerah di Minangkabau. Surau Haji Rasul di Jembatan Besi Padang Panjang menjadi tempat berkembangnya perguruan Sumatra Thawalib, dan tempat lahirnya PERMI (Persatuan Muslim Indonesia).
“Di samping mengikuti pengajian yang diberikan Haji Rasul, menyadari bahwa dirinya adalah seorang perempuan, Rasuna lalu memasuki Sekolah Putri untuk memperoleh keahlian memasak, menjahit, dan keahlian putri lainnya,” ungkap Jahroni.
Kiprah Perjuangan
Rasuna memulai karirnya di dunia politik dengan aktif berkecimpung di Sarekat Rakyat tahun 1926. Ia menjabat sekretaris cabang Maninjau. Ia lalu masuk Permi tahun 1930. Rasuna dianggap memiliki kecakapan dalam berpidato dan berdebat, sehingga ia ditunjuk untuk memberikan kursus bagi anggota Permi.
Menurut Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia, kepiawainnya dalam berpidato membuat Rasuna dijuluki sebagai “Singa Minangkabau”, atau Sally White menamakannya “Singa Betina Pergerakan Indonesia Merdeka”. Dia bersanding dengan Moechtar Loetfi yang juga dijuluki Singa Minangkabau.
“Isi pidato mereka yang galak membuat Belanda khawatir ketenteraman umum di Sumatera Barat menjadi guncang,” tulis Rosihn.
Selain aktif berpolitik, Rasuna juga turut andil dalam pembangunan pendidikan di Sumatera. Semasa sekolah Diniyah di Padang Panjang, Rasuna sudah diamanahi tugas mengajar. Ia meyakini bahwa setiap orang yang ingin terjun ke dunia pergerakan harus dibekali ilmu dan keterampilan yang baik. Diungkapkan Jahroni, Rasuna banyak terlibat dalam pendirian sekolah-sekolah, seperti Sekolah Thawalib kelas rendah, Sekolah Thawalib Putri, Kursus pemberantasan buta huruf, dan Kusus Putri di Bukittinggi. Ketika di Medan, Sumtera Utara juga Rasuna mendirikan lembaga pendidikan khusus perempuan bernama Perguruan Putri.
Pasca Kemerdekaan Indonesia,Rasuna ikut terlibat dalam Panitia Pembentukan Dewan Perwakilan Nagari, yang melahirkan Dewan Perwakilan Sumatera tahun 1946. Ia juga ditunjuk bergabung dengan Komite Nasional Indonesia Daerah Sumatera Barat (KNID-SB). Berdasar hasil sidang pada Januari 1947, Rasuna diangkat sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat dalam Front Pertahanan Nasional di Seksi Wanita bagian logistik.
Rasuna juga tercatat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat di Republik Indonesia Serikat sejak 1949. Pasca pembubaran RIS, Rasuna terpilih sebagai Dewan Perwakilan Rakyat Sementara. Karir politiknya semakin bersinar tatkala Presiden Sukarno menunjukknya sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung. Ia dipercaya Sukano di kursi penasehat pemerintah. Selain di pemerintahan, Rasuna aktif bergabung dalam organisasi Persatuan Wanita Republik Indonesia (PERWARI) sebagai salah satu pimpinan.
Rasuna Said wafat pada 2 November 1965 di Jakarta dalam usia 55 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 084/TK/Tahun 1974, Rasuna Said dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Ia juga mendapat tanda kehormatan Satyalencana Perintis Pergerakan Kemerdekaan, dan Satyalencana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan.
Baca Saja: Arab Siapkan Investasi untuk Indonsia