Bulan September menjadi bulan yang panas.Bulan ketika wacana-dan mungkin propaganda saling melintas di masyarakat, melalui media.Di bulan September-lah saat Republik Indonesia diguncangg dua peristiwa, yang meski dipisahkan oleh rentang tahun yang berjauhan, namun dieratkan oleh pihak yang sama disekelilingnya. Inilah bulan ketika tragedi pemberontakan Madiun di bulan September 1948 bercampur dan berkait kembali dengan Peristiwa 30 September 1965.
Sayangnya kini, seringkali kedua peristiwa tersebut tak dilihat berkaitan.Semakin merebaknya wacana soal peristiwa September 1965 saat ini, seakan-akan kedua peristiwa itu terlihat berdiri sendiri.Berbicara peristiwa 1965 diceraikan dari peristiwa 1948. Dengan memandang terpisah seperti ini, maka kita akan kesulitan memandang peristiwa 1965, dan eksistensi komunisme di Indonesia secara utuh.
Tulisan ini tidak berupaya untuk reka ulang peristiwa 1948 atau 1965, namun tulisan ini berusaha untuk menoleh sejenak sebuah jembatan yang menghubungkan kedua peristiwa tersebut. Masa-masa diantara 1948 dan 1965 yang mungkin luput dari benak kita.Masa-masa diantara ketika para tokoh komunis yang telah rebah diantara reruntuhan Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta pengikutnya, kemudian bangkit kembali dari reruntuhan yang berserakan itu.Mereka dapat berdiri kembali diantara serpihan-serpihannya dan kelak menjadi salah satu kekuatan politik yang berpengaruh di Indonesia.Bangkitnya Partai Komunis Indonesia, tak serta merta membuat mereka berlalu meninggalkan peristiwa 1948.Namun mereka menuliskan kembali peristiwa 1948 dengan penafsiran mereka sekaligus menggugat pihak-pihak yang terkait.
Tragedi Madiun 1948 tentu saja tak bisa lepas dari aktor-aktor disekeliling peristiwa tersebut. Sorotan tak bisa dilepaskan dari nama besar Musso sebagai tokoh komunis yang kembali dari perantauannya selama lebih dari 20 tahun di Moskow. Musso yang melarikan diri dari dampak pemberontan tahun 1926, kembali ke Indonesia dalam panggung aliran politik komunis. Gerakan komunis di tanah saat itu dalam keadaan tercerai berai, meski bukan berarti lemah.Kabinet Amir Sjarifuddin baru saja jatuh akibat perjanjian Renville yang ditanda tanganinya sendiri. Musso kemudian datang mencoba mengubah haluan gerakan komunis di Indonesia.Ia membawa gerakan komunisme di Indonesia pada jalur yang lebih agresif, dan radikal. Haluan PKI yang semula berpegang pada garis Dimitrov -yang membuka peluang untuk bekerja sama dengan kaum liberal kapitalis untuk menghadang kaum fasis- digantikan dengan haluan Zhadhanov, yang memutus hubungan dengan kaum liberal-kapitalis dan berkiblat pada Soviet sebagai kekuatan anti imperialis. (Himawan: 1994) Musso, dengan berpegang pada garis Zhadhanov membuka jalan baru di Republik Indonesia, seperti yang ia kemukakan dalam tulisannya,
“Negara Soviet Uni sebagai tenaga anti kapitalis-imperialis jang terbesar dan terkuat harus dipandang sebagai pangkalan, sebagai pelopor daripada semua perdjuangan anti-imperialis diseluruh dunia. Sebab hanja ada dua golongan di dunia jang berhadapan dan berlawanan satu sama lainjna, jaitu golongan imperialis dan golongan anti-imperialis.”(Musso: 1953)
Sejarah kemudian mencatat Musso menyatukan kelompok-kelompok komunis dalam satu wadah bernama Partai Komunis Indonsia (PKI). PKI melaju kencang menhantam pihak yang mereka sebut sebagai antek imperialis dan kolonialis. PKI menjadi oposisi radikal bagi pemerintahan Hatta. Laju kencang PKI kemudian memakan kurban di bulan September.Peristiwa pemberontakan meletus. Konflik, agitasi yang sebelumnya sudah memanas, mencapai titik didihnya.‘Petualangan’ PKI-Musso kemudian berakhir. Peristiwa pemberontakan Madiun yang bercecer dengan darah para ulama dan umat Islam, memang diikat oleh konflik politik yang rumit. Menghantarkan PKI pada keruntuhannya. Pengikutnya tercerai berai, tiarap atau melarikan diri. Namun diantara reruntuhan tersebut, darah muda kaum komunis mencoba bangkit dan menyatukan kembali serpihan-serpihan bernama PKI.
PKI beruntung, karena pemerintah tak menutup total ruang gerak mereka. PKI tidak dilarang untuk bangkit kembali. Menteri Kehakiman Mr. Soesanto Tirtoprodjo menetapkan bahwa mereka yang terlibat pemberontakan Madiun tidak akan dituntut, kecuali yang terlibat tindak kriminal. Meski keputusan ini tidak memuaskan banyak pihak, namun perlahan pemerintah memaafkan PKI. Nampaknya hal ini disebabkan oleh sikap Presiden Sukarno yang ingin memelihara persatuan untuk menghadapi imperialisme Belanda. Bisa juga karena pemerintah tak lagi menganggap PKI sebagai lawan politik yang berat mengingat sudah habisnya pemimpin mereka. Namun jika kita mengingat kembali haluan politik Sukarno sejak lama yang mengusung Islamisme-Marxisme-Nasionalisme, maka memaafkan PKI adalah hal yang mudah bagi Sukarno.(Subhan:1996)
PKI awalnya kembali bangkit dipelopori oleh Alimin, tokoh gaek komunis di Indonesia.Namun kedudukannya di PKI tak berlangsung lama.Gerak tokoh muda seperti Aidit, Lukman, Njoto dan Sudisman, berhasil menggeser Alimin dari tampuk kepemimpinan partai. Melalui agitasi, organisasi massa dan mobilisasi, mereka berhasil menjadikan PKI salah satu kekuatan politik besar di tanah air. (Subhan:1996)
Meski sudah menjelma menjadi sebuah kekuatan baru, namun pemberontakan Madiun tetap menjadi beban yang dipanggul oleh PKI.Bagi umat Islam, tragedi Madiun tentu saja tak bisa lepas dari ingatan begitu saja. Pemberontakan PKI di Madiun diikuti dengan aksi pembantaian terhadap para kiyai dan santri. Seperti yang terjadi di Pesantren Sabilil Muttaqien atau Pesantren Takeran.Umat Islam dihabisi satu persatu menuju lubang-lubang pembantaian.Aksi jagal ini tetap terekam dalam benak para korban hingga puluhan tahun kemudian.(Tim Penyusun Jawa Pos: 1990) Maka tak heran jika kelompok umat Islam tetap memandang PKI, yang bangkit kembali dibawah Aidit, sebagai ancaman bagi mereka.
Penolakan umat Islam terhadap PKI yang dikaitkan dengan pemberontakan Madiun, ditanggapi Aidit dengan aksi bersih diri. Aidit menolak PKI disebut memberontak. Ia menyebut pemberontakan Madiun sebagai aksi membela diri. Hal ini diungkapkannya pada September 1954,
“…Kawan Musso pada waktu itu tidak memberi komando kepada kami supaja ber-dujun2 datang kepada alat2 pemerintah Hatta-Sukiman-Natsir menjerahkan batangleher untuk dipantjung atau menjerahkan diri untuk ditembak. Tidak, Kawan Musso memberi komando kepada kami kaum komunis untuk mengadakan perlawanan jang gagah berani. Kami tidak menjerah dan tidak minta ampun, karena kami tidak bersalah.”(Aidit: 1964)
Bagi Aidit dan PKI, Hatta, Sukiman dan Natsir memang biang kerok ‘Peristiwa Madiun.’Telunjuk mereka tanpa ampun diarahkan kepada ketiga orang tersebut.Kata-kata seperti provokasi, keganasan, berlumuran darah menghiasi tuduhan PKI kepada Hatta, Sukiman dan Natsir. Aidit sendiri menyatakan,
“Dengan ini mendjadi djelas, bahwa memang benar dalam peristiwa Madiun tangan Hatta-Sukiman-Natsir cs. berlumuran darah.”(Aidit: 1964)
PKI memang setidaknya sejak 13 September 1953 meracik ulang sejarah Pemberontakan Madiun menurut versi mereka. Sejarah Madiun versi mereka itu dikeluarkan oleh Politbiro CC PKI, yang menurut mereka sebagai bentuk pembelaan diri terhadap tuduhan dan fitnah seputar ‘Peristiwa Madiun.’ ‘Peristiwa Madiun’, begitu PKI menyebut ‘Pemberontakan Madiun.’ Sejarah Pemberontakan Madiun menurut versi mereka lebih banyak memusatkan perhatian pada peristiwa-peristiwa penculikan tentara pro FDR/PKI, dan eksekusi terhadap Musso dan Amir Sjarifuddin yang tanpa melalui proses peradilan. Aidit tampaknya tak memusingkan bahwa konflik rumit antara tentara terutama pasukan Panembahan Senopati (yang lebih pro PKI/FDR) dan Pasukan Siliwangi, serta elemen-elemen lain telah berlangsung lama. Korban yang jatuh pun dari kedua belah pihak. Pun Aidit (PKI) menganggap Presiden Sukarno hanya ditunggangi oleh Hatta untuk menumpas PKI. (Aidit: 1964)
“Saja katakan sepenuhnya tanggungdjawab pemerintah Hatta, karena Hattalah jang mendjadi Perdana Menteri ketika itu. Tetapi karena Hatta tahu pengaruhnja sangat ketjil dikalangan Angkatan Perang dan alat2 negara lainnja, apalagi di kalangan masjarakat, maka Hatta menggunakan mulut Sukarno dan memindjam kewibawaan Sukarno untuk membasmi Amir Sjarifuddin dan be-ribu2 putera Indonesia asal suku Djawa.”(Aidit: 1964)
Padahal kita mengetahui yang berpidato di radio untuk membungkam pemberontakan Madiun adalah Sukarno sendiri. Sukarno mengajak rakyat untuk memilih antara ia dan Hatta atau PKI-Musso. Bagaimana pun juga persoalan konflik politik elit diaduk-aduk PKI dalam penulisan sejarah Pemberontakan Madiun, nyatanya terjadi pembantaian secara massal terhadap ulama dan para santri. Pihak yang sebenarnya tak ada urusan dalam konflik politik elit saat itu.
Mengenai pembantaian para kiyai dan santri serta elemen masyarakat yang lain oleh PKI tersebut, Aidit dalam Menggugat Peristiwa Madiun menjawab,
“Ini adalah di-lebih2-kan dan ini adalah pemutarbalikan kenjataan. Kekedjaman jang tidak ada taranja bukan mulai dengan apa jang dinamakan ‘Kaum Komunis berhasil merebut kekuasaan di Madiun’, tetapi dimulai dengan pembunuhan setjara terror terhadap colonel Sutarto dan pentjulikan serta pembunuhan terhadap 5 perwira TNI di Solo.” (Aidit: 1964)
Penulisan sejarah Pemberontakan Madiun versi PKI setidaknya diterbitkan dengan tiga dokumen berbeda, yaitu Buku Putih tentang Peristiwa Madiun,Menggugat Peristiwa Madiun, dan Konfrontasi Peristiwa Madiun (1948) – Peristiwa Sumatera (1956) (Aidit: 1964). Upaya PKI tekun mengaduk-aduk penulisan sejarah menjadi cara mereka untuk membersihkan diri dari peristiwa Pemberontakan Madiun 1948.
Kini, isu seputar komunisme berkembang jauh, peristiwa 1965 digadang sebagai isu besar pelanggaran HAM. Beragam wacana seputar peristiwa 1965 muncul. Pembahasannya menunjuk seputar pelanggaran HAM yang terjadi tahun 1965 dan mengupayakan rekonsiliasi antara pelaku pelanggaran HAM dan korban. Namun jika dicermati isu ini bergulir lebih jauh hingga pencabutan TAP MPRS No. XXV/1966. Pendapat-pendapat yang muncul juga ada yang nampak menyalahkan umat Islam sebagai pelaku pelanggaran HAM dan cenderung menepikan PKI sebagai salah satu pihak yang terlibat dalam pusaran konflik pada masa itu. Penuturan sejarah seperti ini, mengingatkan kita akan penulisan sejarah Pemberontakan Madiun 1948 yang dilakukan oleh PKI, seperti yang telah disinggung di atas.
Di lain sisi, sebagian penulisan peristiwa 1965 yang kini masih dijadikan pegangan adalah penulisan sejarah peristiwa 1965 versi rezim Orde Baru. Tak dapat dipungkiri, penulisan sejarah peristiwa 1965 versi Orde Baru sebagian juga menjadi alat legitimasi bagi penguasa. Penulisan sejarah peristiwa 1965 setidaknya terdapat beberapa versi lain, diantaranya; versi Cornell Papers yang menyebut persoalan internal Angkatan Darat; versi Peter Dale Scott dan Geoffrey Robinson yang menunjuk CIA; versi A. Dake dan John Hughes yang menyebut keterkaitan Sukarno; hingga versi Manai Sophiaan dan Oei Tjoe Tat (Lesmana: 1999 dan Sulastomo: 2006). Maka saat ini dibutuhkan penulisan kembali sejarah peristiwa 1965 yang lebih proporsional dan utuh, sehingga generasi umat Islam saat ini dapat melihat peristiwa 1965 secara utuh dan memahami sepak terjang komunisme di Indonesia.