Sejak muda, Tan Ling Djie sudah dianggap kiri. Menurut Harry Poeze dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 (2008), Tan Ling Djie adalah pendorong berdirinya Serikat Peranakan Tionghoa Indonesia (SPTI), yakni “suatu organisasi politik kiri orang-orang Tionghoa di Negeri Belanda yang didirikan sejak 1932.” Organisasi ini berhubungan dengan Perhimpunan Indonesia (PI).
Sementara di tanah air, seperti dicatat Leo Suryadinata dalam Dilema Minoritas Tionghoa (1986), “Keberadaan dan eksistensi orang Tionghoa sedikit tersisih dalam pergerakan nasional karena perbedaan etnik dengan bumiputra.”
Maka itu, sejumlah partai politik nasionalis sulit menerima mereka. Hal ini berbeda dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang lebih bisa menerima mereka.
“PKI menarik sejumlah orang Tionghoa peranakan yang dikecewakan oleh partai-partai nasionalis yang tak mau menerima mereka sebagai anggota, dan yang tertarik oleh pendekatannya yang radikal dan tidak berdasarkan ras,” tulis Leo Suryadinata.
Di mata dokter Abdul Halim dalam Di Antara Hempasan dan Benturan: Kenang-kenangan Dr. Abdul Halim, 1942-1950 (1981), “Tan Ling Djie adalah orang gerakan underground, kemudian menjadi komunis. Dia pintar bukan main, kepalanya botak.“
Ketika berada di Belanda, selain mendirikan Serikat Peranakan Tionghoa Indonesia, Tan Ling Djie juga adalah anggota Partai Komunis Belanda alias Communistische Partij Netherland (CPN) yang dipengaruhi Paul de Groot. Menurut Ben, Tan Ling Djie bukan satu-satunya orang Tionghoa yang kiri, melainkan masih ada Oei Gie Hwat, Tjoa Sik Ien, dan Siauw Giok Tjhan.
Dalam Madiun 1948: PKI Bergerak (2011), Tan Ling Djie disebut sebagai salah satu pimpinan PKI ilegal bersama Amir Sjariffudin, Maruto Darusman, Abdulmadjid, Setiadjit, dan Wikana. Mereka mengambil alih kepemimpinan PKI dari tangan Alimin dan Sardjono.
“Setelah Peristiwa Madiun, PKI dipimpin oleh Tan Ling Djie, yang menjadi sekretaris jenderal dalam Panitia Persiapan Fusi 3 Partai, yaitu PKI, Partai Buruh Indonesia, dan Partai Sosialis,” tulis Siauw Giok Tjhan dalam Lima Jaman: Perwujudan Integrasi Wajar (1981).
Sementara DN Aidit dalam makalah berjudul Tentang Tan Ling Djie-isme yang disampaikan pada Kongres Nasional Ke-V Partai Komunis Indonesia 1954, yang kemudian dimuat di Bintang Merah (Tahun ke-IX, 1954, 2-3, Februari/Maret), menyebut Tan Ling Djie, “sebagai Sekretaris Jenderal Partai Sosialis merangkap sebagai anggota terkemuka daripada Politbiro ‘PKI ilegal’, kemudian sejak bulan Agustus 1948 sebagai Wakil Sekretaris Jenderal PKI.”
Ketika Madiun Affair pecah, Tan Ling Djie bersama Abdulmadjid ditangkap saat menghadiri Konferensi Serikat Buruh Kereta Api (SBKA) di Yogyakarta. Selama tiga bulan, Tan Ling Djie harus mendekam di penjara. Sementara kawan-kawannya yang berkeliaran seperti Amir dan Musso harus mengakhiri hidupnya di tangan tentara pemerintah.
Serangan mendadak tentara Belanda terhadap ibukota Yogyakarta dalam Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948, membuat tahanan politik yang dipenjara di Yogyakarta dapat melarikan diri, termasuk Tan Ling Djie. Mereka juga tak lagi menjadi buruan tentara pemerintah yang tengah sibuk menghadapi militer Belanda.
“Sesudah kawan Musso meninggal, dengan sendirinya [Tan Ling Djie] menjadi orang pertama di dalam Central Comite Partai. Singkatnya, Tan Ling Djie sudah berkuasa di dalam Partai selama revolusi 1945-1948 dan sampai permulaan 1951,” tulis Aidit.
Namun, kepemimpinan Tan Ling Djie di PKI kemudian beralih ke tangan trio Aidit, Njoto, dan Lukman. Dia malah dituduh mengecilkan peran PKI sebagai pelopor revolusi, dan telah melenyapkan sifat bebas daripada PKI di lapangan organisasi. Dia lalu tersisih selama bertahun-tahun sampai terjadinya gempa politik 1965 dan PKI dihabisi Angkatan Darat. Seperti para simpatisan dan anggota PKI lainnya, dia juga ikut ditangkap militer.
“Tan Ling Djie, mentor Siauw yang ditahan di Surabaya pada tahun 1966, menderita penyakit beri-beri karena kekurangan makan dan meninggal dunia dalam keadaan yang sangat mengenaskan setelah ditahan penguasa militer,” tulis Tiong-djin Siauw dalam Siauw Giok Tjhan: Riwayat Perjuangan Seorang Patriot Membangun Nasion Indonesia dan Masyarakat Bhinneka Tunggal Ika (1999).
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh