Soekardjo Wilardjito (86), saksi penandatanganan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), meninggal dunia pada 5 Maret 2013.
Pada 22 Agustus 1998, Soekardjo, di kantor LBH Yogyakarta menceritakan bahwa empat jenderal, M. Panggabean, M. Jusuf, Basuki Rachmat, dan Amir Mahmud pada 11 Maret 1966 sekira pukul 01.00 datang menghadap Presiden Sukarno di Istana Bogor untuk meminta menandatangani surat dalam map warna merah jambu.
Pada saat M. Jusuf menyodorkan surat dalam map itu, M. Panggabean dan Basuki Rachmat mengeluarkan pistol. Melihat situasi demikian, Soekardjo selaku anggota pengawal presiden Tjakrabirawa yang sedang menggantikan ajudan presiden Komisaris Besar Polisi Sumirat juga mengeluarkan pistol, tetapi dicegah oleh Sukarno.
Pengakuan Soekardjo dan perjalanan hidupnya sudah dibukukan dalam Mereka Menodong Bung Karno: Kesaksian Seorang Pengawal Presiden, terbit 2008.
BACA JUGA:
Supersemar, Inti Rezim Orde Baru yang Palsu
Karena versi itu dianggap dapat menimbulkan keonaran, Kejaksaan Tinggi Yogyakarta menuntut Soekardjo. Namun, pengadilan memutuskan dia tak bersalah. Kasasi jaksa ditolak Mahkamah Agung dalam keputusannya yang diterima Pengadilan Tinggi Yogyakarta pada 11 Juni 2008.
Mantan wakil komandan Tjakrabirawa, Maulwi Saelan, mengatakan, “Dia (Soekardjo) itu omong kosong. Tidak ada nama dia dalam Tjakrabirawa,” kata Maulwi kepada Historia.
Menurut Maulwi, ring satu Tjakrabirawa adalah Detasemen Kawal Pribadi dari Kepolisian yang dipimpin Komisaris Polisi Mangil Martowidjojo, ring dua Corps Polisi Militer (CP), serta ring tiga dari infantri Angkatan Darat, marinir (Korps Komando) Angkatan Laut, dan Pasukan Gerak Tjepat (PGT) Angkatan Udara. Selain itu, Soekardjo adalah anggota infantri berpangkat letnan dua.
“Yang datang menghadap Sukarno hanya tiga orang, M. Jusuf, Basuki Rachmat, dan Amir Mahmud,” ujar Maulwi. “KASAD M. Panggabean berada di Jakarta”.
BACA JUGA:
Maulwi Saelah, Kisah Seorang Pengawal Sukarno
Lima hari setelah pengakuan Wilardjito, M. Panggabean membantah dan menyatakan bahwa dirinya tidak ikut menghadap Sukarno. Pada 4 September 1998, M. Jusuf menguatkan bahwa yang menghadap Sukarno hanya dirinya, Basuki Rachmat, Amir Mahmud; dan mereka di sana sampai pukul 20.30.
“Kalau betul mereka baru pulang pukul 20.30, itu memperlihatkan bahwa pembicaraan dengan Sukarno berjalan alot,” tulis sejarawan Asvi Warman Adam dalam Membongkar Manipulasi Sejarah.
Sejarawan Anhar Gonggong juga meragukan kisah Soekardjo. Menurutnya, tidak mungkin seorang prajurit Tjakrabirawa bisa mendekat ke ruangan tidur presiden. Sejarawan Baskara T. Wardaya sependapat dengan Anhar, tetapi dengan alasan lain.
BACA JUGA:
Supersemar dan Tafsir Soeharto
Dalam Mencari Supriyadi Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno, Baskara menulis, sebelum 11 Maret 1966 sudah dikirim dua orang pengusaha yang dekat dengan Sukarno, yaitu Dasaat dan Hasyim Ning untuk membujuk Sukarno menyerahkan pemerintahan kepada Soeharto. Karena upaya itu tidak berhasil, dikirimkan tiga orang jenderal ke Bogor.
“Surat itu dikeluarkan memang dengan tekanan tetapi tidak perlu memakai pistol,” tulis Baskara. “Lagi pula waktu itu Bung Karno masih menjadi presiden, wibawanya belum hilang sama sekali, rasanya tidak ada jenderal yang berani menodongkan pistol kepada beliau.”