Halodunia.net – Firman benar-benar kelabakan. Ia kehabisan akal karena utang yang kian menumpuk. Belum lagi, ia harus bertahan hidup sehari-hari mengurusi satu orang anak yang masih kecil dan ibundanya yang uzur.
Istrinya meninggal dunia setahun lalu akibat kecelakaan. Sejak saat itu, ia mesti berjuang sendirian mengurusi semuanya. Sayang, ia malah banyak meminjam uang kepada rentenir.
Bunga yang kian membesar membuatnya tercekik dan benar-benar menguras harta bendanya. Segala barang yang ada di rumahnya ia gadaikan. Sertifikat tanah hingga surat kendaraannya pun tak luput dari pegadaian.
Awalnya, Firman bekerja sebagai tukang servis laptop dan komputer. Namun, ia punya hobi bermain poker online. Uangnya ia habiskan untuk membiayai judi onlinenya itu.
Kini, saat semua sudah menipis, barulah Firman fokus bekerja. Servis komputernya tak lagi berjalan karena ia telah menjual alat-alat servisnya. Yang hanya ia punya adalah beberapa spare part komputer yang ia pasang di toko online.
Sayangnya, jualan onlinenya tak kunjung laku. Terlalu banyak saingan membuat toko online Firman tak dapat pamor. Akhirnya, Firman mencoba barang lain. Berbagai barang dagangan telah ia coba.
Mulai dari onderdil motor, alat akuarium, hingga masker kecantikan pun pernah ia jual. Namun, tak ada satupun yang mendatangkan keuntungan. Yang ada malah utang yang semakin menumpuk karena pinjaman modal.
Suatu hari, saat Firman membuka situs poker online, ia melihat iklan baris pesugihan. Katanya, amalkanlah pesugihan Nyi Blorong untuk menjadikanmu kaya. Karena terpepet, Firman pun tertarik.
Iya menginginkan online shop miliknya laku keras dan mendatangkan hasil yang dapat membuatnya kaya raya. Ia mau banyak orang membeli barang di toko online miliknya.
Ia menghubungi kontak dukun yang tertera pada iklan baris tersebut. Dan mengatur janji temu dengan sang dukun. Singkat cerita, berangkatlah Firman ke kediaman sang dukun.
Dukun tersebut justru tidak tampak seperti dukun. Ia berpakaian biasa, tanpa atribut klenik, asap dupa, atau bakaran menyan. Paling banter, hanya sederet lukisan Nyi Blorong dan Nyi Roro Kidul yang terpajang di rumah dukun tersebut.
Firman berkonsultasi cukup panjang dengan sang dukun. Ia diberikan beberapa syarat agar pesugihan ini berhasil. Pertama, Firman harus menyiapkan satu ruangan khusus di rumahnya untuk lakukan ritual.
Kedua, Firman harus membayar mahar kepada sang dukun. Dan, yang terakhir, Firman harus mengorbankan seseorang untuk menjadi tumbal.
Untuk yang terakhir, Firman tak menyanggupi. Katanya, ia tak pernah membunuh orang. Namun, sang dukun mengatakan bahwa pesugihan ini harus menumbalkan seseorang. Lagipula, yang membunuh kan Nyi Blorong, bukan Firman, kata dukun tersebut.
Sejenak berpikir, Firman kemudian mengingat ibundanya yang sudah uzur. Usianya hampir menginjak 70 tahun. Jalannya pun sudah membungkuk, tetapi masih bisa berbicara.
Mungkin, jika ibunya yang tua itu dikorbankan, orang-orang akan menyangka bahwa ibunya meninggal memang karena usia, bukan karena ditumbalkan. Akhirnya, Firman mengiyakan.
Setelah mahar diberikan kepada sang dukun, Firman pun pulang dan siap menjalankan segala amalan tersebut demi online shop-nya.
Tibalah Firman di malam yang telah ditentukan sang dukun. Ia masuk ke ruangan yang telah ia persiapkan sendiri. Di dalamnya ada banyak dupa dan kemenyan yang dibakar.
Bunga-bunga berbagai macam bertebaran di setiap sudut ruangan. Aroma ruangan tersebut begitu pekat. Bau kemenyan dan dupa menyebar ke seluruh ruangan.
Tepat jam 12 malam, Firman merapalkan mantra-mantra yang telah diberikan sang dukun kepadanya. Berjam-jam ia baca mantra tersebut demi keberhasilan pesugihannya.
Sekitar pukul tiga malam, Firman mendatangi kamar ibundanya dengan membawa sebilah pisau. Ia berniat menghabisi ibunya sendiri demi pesugihan tersebut.
Saat mulai menggorok leher ibunya, tiba-tiba kulit sang ibu mengeras. Pisau Firman tiba-tiba tak kuat menggores sedikitpun kulit sang ibunda. Semakin keras Firman mencoba, semakin keras pula kulit ibundanya.
Namun Firman tak berhenti. Ia malah semakin menjadi-jadi menggores-goreskan pisau tersebut. Bukannya tergores, justru pisau Firman yang hancur. Tiba-tiba, sesosok cahaya putih melesat masuk ke tubuh Firman. Saking kagetnya, Firman pun jatuh pingsan.
Keesokan harinya, ia tersadar. Entah mengapa, ia terbangun di ruangan yang ia buat khusus untuk pesugihan Nyi Blorong. Ia lupa mengapa ia ada di sana, bahkan ia lupa siapakah dirinya.
Pandangan Firman tampak kosong. Ia melotot memerhatikan mengapa orang-orang berkumpul di rumahnya dan memperhatikan dirinya. Ia tak tahu, siapa mereka.
Tiba-tiba, seorang nenek menubruknya, memeluk Firman dari belakang. Nenek tersebut menangis dan sedikit menjerit.
“Nak, sadarlah. Apa yang terjadi denganmu? Mengapa engkau melakukan ini, Nak? Ambu tak mau ditinggal sendirian,” kata nenek tersebut tersedu-sedu.
Firman tak tahu siapa nenek tersebut. Saat ia menoleh, memandangi wajah sang nenek, entah mengapa ia tiba-tiba merasa amat sangat sedih dan bersalah. Air mata pun tak terasa meleleh. Firman menangis meski tak tahu mengapa.
Walau sudah saling pandang, Firman tetap tak kenal siapa nenek tersebut.
Cerita ini hanyalah rekayasa. Jika ada kesamaan tokoh dan latar, itu hanya kebetulan.