Dalam buku Kyai Haji Hasyim Asy’ari : Pengabdian Seorang Kyai untuk Negeri Ahmad Baso dari Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia PBNU memberikan sumbangannya dalam tulisan ‘KH. Hasyim Asy’ari : Guru Para Kiai Pesantren dan Warana Kearifan Nusantara’. Adapun tulisan lengkap Ahmad Baso tersebut adalah seperti di bawah ini.
tanpa tuduh mung tapaneki tapa wit puruhita …
tapa tanpa ngelmu itu nora dadi
(Menjalankan praktik-praktik pertapaan dan asketisme namun tanpa bimbingan
yang dipelajari dari seorang guru…
bertapa tanpa ngelmu [ilmu dari sang guru] itu tidak menghasilkan apa-apa…)
—- Serat Cebolek.
KH. Hasyim Asy’ari : Guru Para Kiai Pesantren dan Warana Kearifan Nusantara
Sang Pendidik Karakter Bangsa: Hakikat Pendidikan Pesantren
Hadlratusysyekh KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Pesantren Tebuireng, Jombang, pendiri Nahdlatul Ulama, adalah guru paripurna. Ribuan santri beliau didik, dan ratusan dari mereka menjadi ulama atau kiai, pendiri pondok pesantren, atau menjadi tokoh-tokoh umat Islam. Ini belum termasuk santri-santrinya yang terbilang mustami’ (pendengar setia sang guru), ngaji sekilas kepada beliau, jejer pandito dalam waktu singkat atau yang hanya sekedar minta doa dan obat kepada beliau.
Bagaimana beliau mendidik santri-santrinya? Rasa cinta, tanpa membeda-bedakan. Saking cintanya itu pada santri-santrinya, di hari-hari menjelang wafatnya (pada 7 Ramadhan 1336 H/ 26 Juli 1947), yang diingat beliau hanya seorang santri mustami’ yang disayanginya, Bung Tomo, tokoh pahlawan nasional 10 November 1945. Waktu itu sedang terjadi agresi militer Belanda yang pertama ke daerah Jawa Timur, hingga masuk ke kota Malang, tempat Bung Tomo membangun basis bersama para anggota TNI dan laskar rakyat. Jatuhnya kota Malang dalam agresi tanggal 23 Juli itu membuat Hadlratusysyekh shock, lalu jatuh sakit, hingga ajal menjemput.
Diceritakan pula: suatu hari seorang anak bos pabrik gula Cukir, Jombang, keturunan Belanda, jatuh sakit. Berbagai cara dilakukan, dokter juga sudah gonta-ganti, tapi semuanya tidak membantu. Akhirnya beliau mendatangi anak tersebut, membacakan doa-doa, dan akhirnya sembuh. Sejak itu sang anak menjadi mustami-nya sang Hadlratusysyekh. Itulah sebabnya mengapa beliau disapa “Hadlratusysyekh”, guru para ulama.
Itu karakter yang beliau tanamkan kepada santri dan masyarakat kita. Dan karakter itu beliau pelajari sejak muda, sebagai santri, di beberapa pesantren. Beliau pernah nyantri dan berguru pada seorang ulama kharismatik kenamaan, Syaikhuna Cholil Bangkalan, Madura (wafat 1924). Di masa- masa awal nyantri, kakek Gus Dur ini hanya disuruh angkat air dan mengisi tempayan atau kolam pondok untuk wudhu dan cuci kaki para santri dan jamaah. Akibatnya, banyak waktunya habis untuk mengambil air dan bukan ngaji kitab. Tapi ternyata dengan cara ini sang guru mengajarkan santri kesayangannya itu satu pendidikan karakter untuk belajar mandiri, tekun, ulet, ikhlas, rajin bekerja dan juga untuk menghargai sumber-sumber air sebagai kekayaan alam yang diberikan Tuhan ini, serta memanfaatkannya untuk sebesar-besar kemaslahatan orang banyak.
Ya, itu pelajaran pokok dalam pesantren: pendidikan karakter kebangsaan. Apa inti pendidikan karakter itu yang dilakoni KH. Hasyim Asy’ari, sekaligus yang diajarkan kepada santri-santri dan mustami’nya?
Pertama, pendidikan karakter pesantren berupaya mengajak bangsa ini untuk mandiri bukan hanya dalam soal ekonomi dan politik. Tapi juga dalam kebudayaan dan kerja- kerja pengetahuan, dalam bidang cultuur seperti dibahasakan Adinegoro dalam Polemik Kebudayaan (dalam debat ini pesantren dibela oleh Dokter Soetomo dan Ki Hajar Dewantoro). Dalam pendidikan seperti ini, anak-anak kita diajarkan bahwa bangsa ini juga punya pengetahuan sendiri, tahu, dan berilmu. Ada kebanggaan tersendiri untuk tahu tentang dirinya sebagai bangsa, punya tradisinya sendiri, dan juga percaya diri bahwa mereka bisa melakukan kerja pengetahuan yang bebas dan mandiri. Acuan pendidikan pesantren adalah dasar-dasar kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, yang diperoleh dari masa sejak abad-abad pertama masuknya Islam, dan juga sebagian mengambil inspirasi dari masa Hindu-Budha (seperti lakon-lakon pewayangan) untuk kemudian diolah sesuai dengan jiwa pendidikan pesantren.
Kedua, pendidikan karakter pesantren mengajarkan anak-anak didiknya untuk bergaul dan bersatu di antara sesama anak-anak bangsa se-Nusantara, apapun suku, latar belakang dan agamanya. Mereka diajarkan untuk saling berinteraksi secara harmonis di antara berbagai komunitas bangsa tersebut. Kalau ada perselisihan, mereka diminta untuk berdamai melalui mediasi para ulama pesantren atau yang ditunjuk oleh orang-orang pesantren untuk memerankan fungsi mediasi tersebut. Seperti peran para ulama Mekah di abad 17 yang meminta Banten, Mataram dan Bugis-Makassar untuk bersatu, juga peran Kiai Haji Oemar di Tidore, Maluku, paruh kedua abad 18 yang menyatukan para pelaut Indonesia Timur dari berbagai agama dan suku untuk bersatu menghadapi Inggris dan Belanda.
Ketiga, pengetahuan diabdikan bagi kepentingan dan keselamatan nusa dan bangsa ini. Itu sebabnya pesantren mengajarkan berbagai jenis kebudayaan Nusantara yang akan menjadi alat perekat, pertahanan dan mobilisasi segenap kekuatan bangsa ini.
Keempat, karena pergaulannya yang begitu rapat dengan bangsa-bangsa lain di jalur perdagangan dunia di Samudera Hindia, orang-orang pesantren juga mengajarkan anak-anak bangsa ini cara-cara menghadapi dan bersiasat dengan bangsa- bangsa lain, terutama dengan orang-orang Eropa (kini Amerika) yang berniat menguasai wilayah di Asia Tenggara.
Kelima, orang-orang pesantren juga mengajarkan kepada anak-anak bangsa ini untuk memaksimalkan serta memanfaatkan segenap potensi ekonomi dan sumber daya negeri ini. Itu sebabnya pesantren hadir di dekat sumber-sumber mata air dan sumber-sumber kekayaan alam.
Untuk mencapai tujuan-tujuan di atas, pesantren hadir sebagai kiblat pendidikan keagamaan-kebangsaan bagi bangsa ini. Model yang mereka adopsi adalah pendidikan model para Wali Songo, para ulama-waliyullah penyebar agama Islam di Tanah Jawa hingga ke Nusantara.
Tradisi Wali Songo yang kini terpelihara adalah penghargaan terhadap leluhur, para ulama, para pejuang yang berjuang untuk bangsa ini serta para pendahulu yang berjasa. Itu dicontohkan oleh Sunan Kalijaga ketika berziarah ke Pamantingan (tirakat dateng ing Pamantingan) sebelum ikut bersama dengan para Wali lainnya membangun Mesjid Demak. Sunan Kalijaga dikenal sebagai tipe santri kelana, “muballigh keliling”, yang akrab dengan tradisi-tradisi pra-Islam, dan, seperti ditulis KH. Saifuddin Zuhri, kerap “mengunjungi tempat- tempat bersejarah”.
Perjuangan Wali Songo ini dilanjutkan oleh kalangan pesantren dalam membantu anak-anak bangsa ini memelihara segenap memori kolektif bangsa ini dari masa lalu tentang kejayaannya, tentang segenap pengalamannya berhadapan dengan bangsa-bangsa asing, hingga membantu mereka mengingat kembali perjuangan orang-orang yang berkorban untuk bangsa dan tanah air ini. Mekanisme untuk itu dilakukan dengan memelihara sejumlah tradisi, ritual, upacara dan segenap praktik-praktik keagamaan, kesenian dan berkebudayaan. Seperti tradisi ziarah makam, penghormatan terhadap petilasan tokoh- tokoh penyebarIslam pertama atau nenek moyang pembuka desa pertama. Praktik-praktik ini menghubungkan satu generasi ke generasi berikutnya, dari satu komunitas ke komunitas lainnya, sehingga solidaritas berbangsa, persatuan dan kebersamaan di antara komponen bangsa ini, ikut terjaga.
Selain itu, tradisi-tradisi ini juga dipelihara oleh pesantren melalui mekanisme penghormatan dan perlindungan terhadap tanah, air, laut, hutan, gunung dan sumber-sumber daya alam yang dimiliki Nusantara ini. Keberadaan makam-makam keramat di dekat mata air, di hutan, di gunung, semuanya dirawat oleh orang-orang pesantren untuk kepentingan menjaga kesinambungan sumber-sumber air bagi kehidupan umat manusia. Demikian pula tempat-tempat tertentu yang dianggap keramat (dalam bahasa awam, “angker”, “ada penghuninya”), juga dipelihara oleh pesantren karena keterkaitan historis tempat-tempat tersebut dengan sejumlah jejak para tokoh ulama atau wali. Tempat-tempat keramat seperti makam atau petilasan sejumlah pendakwah Islam pertama, pembuka desa pertama,atau jejak kehadiran pesantren awal, menjadi obyek ziarah kaum santri dan komunitasnya yang selalu dijaga.
Mengapa pesantren mengajarkan pendidikan semacam ini? Ya, karena segenap kekayaan alam yang berhimpun di dekat tempat-tempat keramat tersebut menjadi bagian dari ketahanan ekonomi-kultural masyarakat, tanpa dikavling-kavling, diliberalisasi, atau diswastanisasi untuk kepentingan pemodal atau untuk investasi asing. Karena proses swastanisasi itu akan berdampak merugikan hajat hidup sebagian besar bangsa ini. Di sana akan terjadi proses pemiskinan masyarakat di sekitar proyek-proyek liberalisasi-swastanisasi tersebut. Masyarakat desa turun pangkat dari pemilik lahan atau tuan di atas tanahnya sendiri, menjadi buruh atau kuli. Sementara orang-orang pesantren juga dipinggirkan melalui proses modernisasi dan puritanisasi beragama orang-orang sekitar pesantren. Mereka kemudian tidak lagi percaya kepada pesantren yang dianggapnya sebagai sarang takhayul dan khurafat.
Hal ini yang dikhawatirkan oleh Dokter Soetomo, salah seorang pendiri organisasi kebangsaan, Boedi Oetomo, ketika anak-anak bangsa kita masuk sekolah modern dan meninggalkan hakikat pembelajaran di pesantren, karena mereka berakhir hanya menjadi buruh atau kuli, tanpa dibekali beban-beban kemandirian dan kemerdekaan dalam mengupayakan hidup dan kelestarian kekayaan Bumi Pertiwi ini. Terutama untuk mengisi idealisme kaum pergerakan di masa itu untuk menimba banyak hal dari sistem pesantren.2 Selain untuk mengisi ideologi kebangsaan kita, juga untuk memperkuat “keboedajaan kita [yang] tidak atau sedikit sekali diperhatikan [dalam sistem sekolah Barat]”.
Soetomo menyebut sejumlah karakter yang hidup pada sistem pesantren, sehingga layak mengisi ideologi kebangsaan- keindonesiaan tersebut. Karakter pertama, “pengetahoean pada muntkoerid-moeridnja”; Karakter kedua, “memberi ala-alat goena berdjoeang di doenia ini”; Karakter ketiga, “pendidikan jang bersemangat kebangsa’an, tjinta kasih pada Noesa dan Bangsa choesoesnya, dan pada doenia dan sesama oematnja oemoemnja”; Karakter keempat, “moerid-moerid akan menjediakan diri oentoek menoendjang keperloean oemoem”; Karakter kelima, “kekoeatan batin dididik; ketjerdasan roh diperhatikan dengan sesoenggoeh-soenggoehnja, sehingga pengetahoean jang diterima olehnja itoe akan dapat dipergoenakan dan disediakan oentoek melajani keperloean oemoem teroetamanja”.
Kelima karakter inilah yang kemudian menjelaskan mengapa pesantren menjadi kiblat kalangan nasionalis untuk mengukuhkan posisi pesantren sebagai pusat pendidikan kebangsaan. Hingga Soekarno pun ikut berguru di satu pesantren di Sukanegara, Cianjur selatan, di dekade 1940-an. Dan bukan pula kebetulan, kalau guru Soekarno ini, KH. Ahmad Basari atau dikenal Kiai Sukanegara, adalah santri KH. Hasyim Asy’ari. (Lihat buku saya, Pesantren Studies 2A).
Pendidikan Pesantren untuk Kemaslahatan Bangsa: Pelajaran tentang Kearifan Nusantara
Ada satu lagi jenis pendidikan karakter yang dibangun KH. Hasyim Asy’ari dari pesantren. Yakni pendidikan untuk kemaslahatan bangsa. Ini terlihat dari cara beliau dan ulama kita lainnya di pesantren mengutip dan mengembangkan ucapan Imam al-Ghazali dalam Kitab Ihya Ulumiddin: ulama itu harus faqih atau paham lebih mendalam tentang kemaslahatan umat manusia (faqihun fi mashalihi-l-khalqi).
Mengapa pendidikan kemaslahatan? Di sini peran KH. Hasyim Asy’ari sebagai “warana” (penjaga, pelindung) kearifan ke-Nusantara-an kita. Seperti halnya warana yang menjaga dan melindungi sebuah keris.
Banyak orang sering mengeluh soal karakter peradaban Arab sebagai kumpulan biji-biji pasir yang kian tinggi dan beranak-pinak, tapi kehilangan daya perekat, semen atau lemnya. Mereka ibarat hidup dalam kultur “pulau-pulau pemikiran” atau bangsa-bangsa “biji-biji pasir”. Akibatnya nalar mereka jadi jumud, hidup nafsi nafsi, suka konflik, dan bunuh-bunuhan, meski sama sama ngaji Quran dan Hadis. Karena itu ide maslahat penting diangkat kembali dalam konteks kekinian umat Islam agar terbangun satu peradaban baru berbasis harmoni dan suasana guyub antar berbagai elemen bangsa Arab dan Muslim itu.
Itulah sebabnya ulama kita mengangkat wacana ke- Nusantara-an dalam kajian keislaman global. Hingga Sunan Giri menyebutnya “Din Arab Jawi” atau Islam Nusantara.3 Dalam wacana jenius ini, ke-Nusantara-an ditampilkan sebagai daya perekat, semen atau lem bagi kultur “pulau-pulau pemikiran” atau bangsa-bangsa “biji-biji pasir” itu.
Bicara kemaslahatan berarti bicara tentang kondisi dan realitas kekinian umat yang nyambung dengan tradisinya, dengan kebudayaan masyarakatnya. Ini untuk mengenal lebih jauh kepentingan kemanusiaan mereka di dunia ini sebagai bekal menuju akhirat. Bukan sebaliknya membuat mereka terperosok ke masa lalu, hingga tidak bisa bangkit lagi. Selanjutnya, dari sana kita membangun solusi untuk persoalan-persoalan masa kini dan masa depan kita.
Wawasan ulama-ulama Nusantara tentang maslahat dimulai sejak awal pengislaman dari abad 13. Mereka mengembangkan satu metodologi yang menjaga kesatuan ontologis dan epistemologis “satu badan, satu jiwa” ke- Nusantara-an sebagai basis dan sumber ilmu. Ke-Nusantara- an diibaratkan sebagai wadah yang “berberkah” tempat “Islam tumbuh dan bangkit kembali” (“seger maning manah iki”, seperti disebut dalam Serat Carub Kandha dari Cirebon tentang proses Islamisasi Nusantara di tangan Syekh Jumadil Kubro dan putranya, Syekh Ibrahim Asmorokandi, abad 14).
“Kenali dirimu hai anak alim … dengan dirimu yogya kau qaim (berdiri tegak)”, demikian penegasan sastrawan sufi Hamzah Fansuri dari Aceh awal abad 16, tentang menjaga kesatuan ontologis dan epistemologis “satu badan, satu jiwa” ke-Nusantara-an itu.
Wawasan kemaslahatan Nusantara ini muncul ketika keislaman dihadirkan untuk memperkuat ke-Nusantara-an kita, meskipun ada yang bukan Muslim. Seperti halnya Imam al-Ghazali menggali etika keadilan normatif dari akar Persia yang non-Muslim (seperti etika keadilan Raja Anusyarwan atau Khusraw I, 531-570). Di tangan para Wali dan ulama kita, Islam hadir memperkuat dinamisme dan potensi kekuatan kultural peradaban dan kebudayaan kita.
Maksudnya di sini: kalau para Wali Songo hingga Hadlratusysyekh KH. Hasyim Asy’ari, merumuskan patokan cara beragama dan bertradisi Islam Nusantara pada empat mazhab (dalam fiqih), dua mazhab (dalam tauhid dan kalam), dan dua mazhab (dalam tasawuf), maka hal itu bisa kita angkat sebagai satu titik masuk “mencari satu tahapan puncak kemajuan yang dilalui tradisi kita”, sebagaimana yang dikenal dalam kedelapan mazhab itu.
Itu ditunjukkan misalnya para ulama Nusantara kita dulu yang mengangkat Imam al-Ghazali sebagai “puncak kemajuan” dalam tradisi Asy-ariyah, Syafi’iyah, dan tradisi tasawuf Sunni. Karya-karya ulama-pembaru ini banyak menjadi andalan bagi para ulama dalam mengukuhkan Islam Nusantara sebagai kiblat baru untuk peradaban dunia. Dari puncak pemikiran al-Ghazali inilah para ulama Nusantara bisa berkreatif dengan bebas dalam menghadapi tantangan zaman dengan menjadikan Nusantara sebagai pusat keunggulan Islam untuk kampanye Islam rahmatan lil’alamin (Lihat dalam buku saya, Islam Nusantara, jilid 1).
Coba perhatikan satu pandangan Sunan Giri ini yang dikemukakan dalam musyawarah para Wali Songo di Mesjid Demak akhir abad 15: “Dhewe-dhewe tekatira, nanding nora sulaya … kumpul bae maksudira” (masing-masing punya pendapatnya sendiri-sendiri, tapi tidak bercerai, semua pendapat mereka itu sama-sama bertemu dalam maksud dan tujuannya).4 Pandangan Sunan Giri ini tidak lepas dari cara ulama Nusantara kita memahami dan menafsirkan pandangan Imam al-Ghazali di atas: “faqih fi mashalihi-l-khalqi”, ulama yang paham dan mengerti betul kemaslahatan umat manusia. Sekaligus memberi karakter kebudayaan dan peradaban kita bagi penguatan Islam sebagai rahmat untuk alam ini.
Kemaslahatan itu hanya muncul kalau orang bersatu, guyub, mengedepankan titik-temu, dan suka berkumpul – termasuk makan-makan! Ingat tradisi kompolan di Madura, kendurenan dan cangkrukan di Jawa, atau tudang sipulung di Sulawesi. Hakikat “kumpul bae maksudira” ini kemudian dilembagakan oleh para Wali ke dalam bahasa “hukum adat” sebagai salah satu pilar dari empat pilar hukum Islam Nusantara: hukum akal, hukum syara’, hukum adat, dan hukum fa’al (yurisprudensi). Kalau hukum syara misalnya mengajarkan ajaran-ajaran normatif agama, maka hukum adat mengajarkan bagaimana hukum agama itu dilaksanakan dalam suasana guyub dan gotong-royong. Muncullah ijtihad halal bihalal, misalnya, seperti dikenal kini. Di sini ajaran tekstual agama, Quran dan Hadis, tidak dipertentangkan dengan adat, tapi dicari titik-temu dan penguatannya masing-masing.