Benarkah Wabah Corona Berakhir Saat Bintang Tsurayya Terbit?
Seorang ustaz menyebut wabah corona akan berakhir jika muncul Bintang Tsurayya.
Bintang Tsurayya: Seorang ustaz menyebut wabah corona akan berakhir jika muncul Bintang Tsurayya. Pengamat antariksa akan bisa menyaksikan planet Venus bertemu dengan gugusan bintang terbuka Pleiades atau Seven Sisters pada senja setiap malam.
Ian Aiken/Elderberry Observatory/Sunderland/U
Bintang Tsurayya: Seorang ustaz menyebut wabah corona akan berakhir jika muncul Bintang Tsurayya. Pengamat antariksa akan bisa menyaksikan planet Venus bertemu dengan gugusan bintang terbuka Pleiades atau Seven Sisters pada senja setiap malam.
Red: Elba Damhuri
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nur Hasan Murtiaji, Wartawan Republika/Alumni Astronomi ITB
Beberapa hari terakhir ramai dibicarakan di sejumlah platform media sosial mengenai bintang Tsurayya. Bermula dari adanya rekaman video seorang dai yang beredar di grup whatsapp maupun platform media sosial lainnya.
Ustaz tersebut menyatakan, “Banyak orang bertanya-tanya, kapan virus corona ini berakhir? Jawabannya disebutkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam musnadnya.” Rasulullah SAW menjawab yang kemudian ustaz tersebut mengartikan hadis itu berikut, “Apabila suatu saat nanti muncul bintang, di suatu pagi, pada pagi hari, maka akan diangkatlah segala macam wabah.”
Kemudian, ustaz tersebut menafsirkan wabah dalam hadis itu dengan virus corona. Dia menukil dari Syekh Ahmad bin Abdurrahman al-Banna as-Sa’ati, pengarang kitab al-Fath ar-Rabbani, bahwa yang dimaksud dengan bintang dalam hadis ini adalah bintang ats-Tsurayya.
Dia juga menukil dari Imam Ibnu al-Malaqqin bahwa bintang ini akan muncul pada awal Mei. Terakhir, ustaz berharap wabah ini berakhir pada Mei. Saat itulah segala macam wabah penyakit menular akan hilang dari alam dunia ini.
Lalu, apa sebenarnya bintang Tsurayya itu? Tsurayya adalah nama Arab untuk gugusan bintang Pleiades. Jika Pleiades adalah nama lain Tsurayya dalam mitologi Yunani, di Persia dikenal sebagai Sorayya, di Babilonia sebagai Mul-mul, di India dengan nama Krittika, di Cina sebagai Mao, di Jepang disebut Subaru, maka di Indonesia di antaranya dengan nama Tujuh Bersaudari.
Gugus bintang atau klaster Pleiades ini berisikan setidaknya 800 bintang yang berjarak 410 tahun cahaya dari bumi. Tahun cahaya merupakan satuan jarak.
Satu tahun cahaya adalah jarak yang ditempuh oleh cahaya yang bergerak melewati ruang hampa udara dengan kecepatan 300 ribu kilometer per detik selama satu tahun. Artinya, satu tahun cahaya ini setara dengan 9,46×10^12 kilometer. Angka 9,46 diikuti di belakangnya dengan angka nol sebanyak 12.
Gambaran simpelnya, jarak bumi ke bulan 1,3 detik cahaya, ke matahari 8,3 menit cahaya, ke Pluto 5,3 jam cahaya, ke Proxima Centauri 4,3 tahun cahaya.
Artinya, jarak bumi ke gugus bintang Pleiades memakan waktu 410 tahun bila menggunakan wahana yang kecepatannya setara 300 ribu kilometer per detik. Satu detik mencapai jarak 300 ribu kilometer.
Pleiades merupakan contoh dari klaster bintang terbuka. Gugus bintang yang terbentuk, semuanya terlahir pada waktu yang sama dari kumpulan gas dan debu yang berukuran super raksasa.
Bintang paling terang di klaster ini bersinar biru panas yang terbentuk sekitar 100 miliar tahun lalu. Kecerlangannya yang tinggi membuatnya sangat terang dan cepat terbakar.
“Hanya beberapa ratus juta tahun sudah habis, lebih pendek usianya ketimbang matahari kita,” demikian dikutip dari Space.com.
Ada tujuh bintang paling terang dalam gugus ini. Mereka bernama Alcyone, Atlas, Electra, Merope, Taygete, Pleione, dan Maia. Alcyone merupakan bintang paling terang. Ukuran bintang tersebut rata-rata lebih kecil dari matahari di tata surya kita.
Galileo Galilei adalah astronom pertama yang mengamati Pleiades melalui teleskop. Dia mempublikasikan pengamatannya pada Maret 1610 dengan menyebut Pleiades berisi 36 bintang.
Menurut Judhistira Aria Utama dari Laboratorium Bumi dan Antariksa Departemen Pendidikan Fisika Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), gugus bintang Pleiades ini berada di arah rasi Taurus.
“Bila Tsurayya yang dimaksud itu adalah Pleiades, maka gugus bintang ini berada di horison timur Jakarta pada saat fajar shadiq yang menandai awal waktu Subuh pada 9 Juni 2020, sebelum terbitnya matahari,” kata Aria kepada Republika, beberapa waktu lalu. “Keesokan harinya, pada waktu yang sama, posisinya akan semakin meninggi.”
Selain Lintang Wuluh, Pleiades di masyarakat Nusantara juga disebut Lintang Kartika atau Tujuh Putri. Lintang Kartika ini menjadi penanda pergantian musim.
Masyarakat agraris Nusantara, kata Aria, punya cara sendiri dalam menentukan awal masa tanam. Pada masa tertentu pascaterbenamnya matahari, mereka akan keluar rumah menghadap arah timur untuk mencari lokasi bersemayamnya gugus bintang Lintang Kartika ini.
Kapankah awal masa tanam yang ditandai dengan posisi Tujuh Putri ini pada ketinggian sekitar 45 derajat dari cakrawala? Perhitungan astronomis dengan perangkat trigonometri sferis yang bersandar pada informasi ketinggian objek pengamatan, koordinat ekuatorialnya, dan lokasi pengamat, ungkap Aria, didapati masa awal tanam musim bertepatan dengan akhir dari dasarian pertama pada awal Januari.
Berselang lima bulan berikutnya, ketika Tujuh Putri berada di kaki langit sebelah timur sebelum terbitnya matahari, adalah masa panen. Ini bertepatan dengan tanggal 10 Juni.
“Momentum ini terjadi pada bulan ke-12 penanggalan pranatamangsa. Suku Batak mengenal penanggalan serupa dengan nama porhalaan, di Bali sebagai wariga, dan kertamangsa di Sunda,” kata Aria.
Bulan ke-12 dan pertama penanggalan ini, keduanya disebut sebagai mangsa terang, yang diapit dua bulan yang kontras. Yakni, bulan ke-11 adalah mangsa panen dan bulan kedua mangsa paceklik. “Ketika matahari hampir tiba kembali di posisi paling utara di bola langit yang jatuh pada 21-22 Juni, menjadi awal bulan pertama penanggalan pertanian ini,” jelasnya.
Astronom ITB Moedji Raharto menjelaskan, Pleiades berada di dekat rasi Orion atau ada yang menyebutnya sebagai bintang Waluku. “Rasi di arah bintang ini cukup gamblang dilihat dengan mata sebagai indikator pertanian,” kata Moedji.
Bila Tsurayya yang dimaksud adalah Pleiades, maka kemunculannya secara astronomi terjadi pada awal Juni. Hendro Setyanto dari pengelola observatorium wisata Imah Noong di Lembang, Bandung, mengatakan, Pleiades terbit pada pagi hari awal Juni di ufuk timur. “Kalau sudah muncul mendekati puncak musim kering. Jadi terkait dengan pertanian,” katanya.
Lalu apa yang dimaksud terbitnya bintang dalam kacamata ilmu hadis? Pengajar di STIT Diniyah Putri Rahmah El Yunusiyah Padang Panjang Ustaz Yendri Junaidi menjelaskan, Imam ath-Thahawi dalam kitab Syarah Musykil al-Atsar memaparkan, yang dimaksud dengan bintang dalam hadis ini adalah ats-Tsurayya.
Kalender orang-orang Mesir kuno menyebut Tsurayya ini muncul pada bulan Basyans. Bulan Basyans menurut kalender orang-orang Suryani yang dijadikan acuan masyarakat Irak adalah bulan Ayar. Bulan ini dalam kalender Masehi adalah Mei.
Imam al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani setelah mensyarah hadis di awal tulisan ini mengatakan, yang menjadi patokan sebenarnya adalah masak atau matangnya buah-buahan. Adapun munculnya bintang hanyalah pertanda saja.
Hal yang sama diaminkan Syekh Ahmad as-Sa’ati dalam al-Fath ar-Rabbani. Menurut Yendri, fokus dalam hadis ini adalah penegasan bahwa buah-buahan yang masih di batangnya tidak boleh dijual hingga terlihat dan terbukti sudah matang. Baik matangnya itu ditandai warnanya yang sudah merah maupun terbitnya bintang di langit.
“Saya lebih cenderung mengartikan kata bintang dalam hadis itu dengan tumbuh-tumbuhan atau buah-buahan, bukan bintang. Sehingga arti dari kalamat terbitlah bintang adalah sampai muncul buahnya,” kata Yendri yang merupakan alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo ini.
Kendati berbeda pendapat mengenai arti terbitnya bintang, Yendri sependapat jika masyarakat berharap dan optimistis wabah ini segera diangkat. Apalagi di tengah berseliwerannya beragam informasi yang memunculkan rasa takut.
Namun, yang dia khawatirkan ketika masyarakat percaya pada tafsir hadis bahwa pada Mei virus akan lenyap. Padahal, tafsir mengenai “hingga terbitnya bintang” itu bukan berarti lenyapnya virus corona, tapi wabah pada tanaman.
“Betulkah hadis yang disampaikan itu terkait virus corona? Tepatkah langkah sang ustaz memberikan optimistis dan harapan berdasarkan hadis yang dipahaminya sendiri secara tergesa-gesa?” tulis Yendri dalam laman Facebook-nya.
Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia KH Asrorun Niam Sholeh menyebut terbitnya bintang Tsurayya lebih menjadi penanda pergantian musim. Bahkan, di sejumlah hadis lain mengenai kemunculan Tsurayya, ungkapnya, bercerita soal hama dan buah-buahan.
“Akan tetapi, karena sifatnya umum, ya semoga saja benar adanya (virus lenyap pada Mei). Dengan ikhtiar kita bersama, wabah bisa segera berakhir,” kata Asrorun.