Halodunia – Siapa yang belum mengenal istilah Body Dysmorphic Disorder ?yuk simak penjelasannya..
Memiliki bentuk tubuh ideal tentu menjadi impian semua orang. Melalui olahraga yang rutin dan penjagaan pola makan yang baik, tujuan itu kemungkinan besar akan tercapai secara perlahan. Sayangnya, banyak orang yang sepertinya tidak pernah puas dengan kemajuan yang dialami oleh tubuhnya. Hal ini tidak bisa disalahkan sepenuhnya kepada orang tersebut karena, bagaimanapun, “standar kecantikan” (yang out-of-date dan tidak lagi relevan, duh!) di masyarakat hampir mustahil untuk dipenuhi, membuat topik terkait kesehatan dan kecantikan pun menjadi toxic.
Ketika seseorang merasa bahwa ia tidak dapat memenuhi standar kecantikan di masyarakat, secara tidak sadar mereka akan terlalu fokus pada dirinya dan kekurangan yang mungkin tidak dilihat oleh orang lain. Pada akhirnya, kebiasaan untuk membandingkan diri dengan orang lain pun dianggap menjadi hal yang biasa. Padahal, jika perilaku ini berlanjut, hal ini dapat memengaruhi tingkat kesehatan mentalmu, dan bisa menjadi gejala awal dari adanya body dysmorphic disorder (BDD).
BDD sendiri termasuk dalam kategori penyakit kejiwaan obsessive compulsive disorder (OCD). Menurut data yang disediakan oleh Body Dysmorphic Disorder Foundation, BDD dialami oleh setiap satu dari 50 orang. Sayangnya, masih belum banyak yang mengenal BDD dan bahayanya.
Apa itu body dysmorphic disorder?
Melansir dari NHS UK, BDD dikategorikan sebagai kondisi kesehatan jiwa dimana penderitanya menghabiskan sebagian besar waktunya mengkhawatirkan penampilannya. Kekhawatiran ini bisa sampai ke tahap dimana mereka terobsesi terhadap kekurangan pada tubuhnya, sekecil apapun kekurangan itu, meski tidak ada orang lain selain dia sendiri yang menyadari hal tersebut.
Menurut Body Dysmorphic Foundation, orang yang memiliki BDD sering kali merasa bahwa diri mereka dapat didefinisikan melalui seberapa sempurna penampilannya. Mencari, menutupi, dan menghilangkan kekurangan pada diri sendiri seolah-olah dijadikan sebuah validasi akan eksistensi mereka. Perasaan khawatir yang berlebihan ini tentu saja memberi dampak signifikan terhadap kondisi kejiwaan seseorang. Bahkan, berdasarkan sebuah penelitian oleh Philip dan Menard di tahun 2006, sebanyak 75 persen individu dengan BDD mengatakan bahwa mereka pernah merasa ingin melakukan bunuh diri dan sebanyak 25 persen pasien dengan BDD dilaporkan pernah melakukan percobaan bunuh diri.
Mencari, menutupi, dan menghilangkan kekurangan pada diri sendiri seolah-olah dijadikan sebuah validasi akan eksistensi mereka
Lalu, apa perbedaan dari body dysmorphic disorder dengan memeriksa kekurangan tubuh seperti biasanya?
Terkadang, mengidentifikasi keberadaan BDD bisa menjadi suatu hal yang rumit. Pasalnya, setiap orang pasti pernah “fokus” dan khawatir dengan kekurangan dalam tubuh mereka. Tetapi, BDD bukan hanya sebatas itu saja. Orang yang mengalami BDD tidak hanya memikirkan, “Oh, perut saya terlihat sedikit kembung hari ini,” dan melanjutkan aktivitas kesehariannya dengan normal. Ketika mereka menyadari ada sesuatu yang salah, mereka tidak akan berhenti memikirkan hal itu seharian, pada akhirnya hal ini pun mengganggu aktivitasnya.
Menurut American Psychiatric Association, penderita BDD mungkin merasa dorongan untuk mengulangi perilaku tertentu secara berulang kali seperti: menghabiskan waktu lama (2-8 jam) di depan cermin, mencubit kulit, membandingkan tubuh dengan teman maupun orang yang tidak dikenal, fidgeting, penarikan diri dari lingkungan sosial, penurunan nafsu makan dan keinginan untuk tidur.
Apa penyebab terjadinya body dysmorphic disorder?
Sebenarnya, belum ada badan professional yang dapat memastikan penyebab seseorang menderita BDD. Namun, berdasarkan American Psychiatric Association, kebanyakan individu yang memiliki BDD dipicu oleh tiga hal:
a) Kultural (tertekan karena merasa tidak memenuhi standar kecantikan yang ada di masyarakat)
b) Sosial (tuntutan sosial atau pengalaman traumatis seperti diejek atau dikucilkan karena penampilan)
c) Psikologis (kepercayaan diri yang rendah atau faktor genetik dari keluarga yang memiliki riwayat BDD atau OCD)
Bagaimana cara mengatasi body dysmorphic disorder?
Kebanyakan orang yang menderita BDD tidak mau mengakui adanya kesalahan dalam diri mereka. Gangguan ini mudah untuk tidak dikenali dan sering terjadi salah diagnosis. Jika kamu atau orang terdekatmu sedang berjuang melawan BDD, bertemulah dengan profesional untuk mendapatkan perawatan yang layak.
Perawatan yang direkomendasikan oleh American Psychiatric Association untuk para penderita BDD adalah: Cognitive behavioral therapy (CBT) dan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs). CBT adalah sebuah terapi dengan cara mengobrol, yang dapat membantu penderita BDD mengubah pola pikir terkait penampilan mereka. Biasanya CBT akan dikombinasikan dengan exposure response prevention (ERP) yang menyediakan serangkaian “tugas” yang dapat mendorong mereka untuk melawan ketakutan dan pikiran negatif atas penampilannya. Berbeda dengan CBT dan ERP yang mengatasi BDD melalui perubahan perilaku, SSRIs merupakan sebuah pengobatan yang dapat menurunkan tingkat kecemasan dan pikiran obsesif dari penggunanya.
Dan ingat, semua ini bisa diatasi jika penderita mau mulai menerima keadaan tubuh dan mencintai dirinya sendiri. Lagipula, semua orang memang memiliki keunikannya tersendiri, kan? Time to accept, embrace, and love your body, girls.
(Nabila Nida Rafida / VA / Image: Unsplash)