Haldodunia.net – Saat aku dan Pak Sukra menghampiri wanita itu, kulihat dia lari begitu saja dan masuk ke semak-semak. Namun, sekali lagi, Pak Sukra sama sekali tak dapat melihat keberadaan wanita itu. Aku tidak habis pikir kenapa banyak sekali keanehah yang kulami hari ini.
“Saran saya jangan melamun, Mbak. Demit mudah mengelabui kita kalau kita sering melamun,” begitu kata Pak Sukra.
“Iya, Pak,” aku mengangguk. Kami pun masuk ke puskesmas. Sesekali aku masih menoleh ke belakang, mencari keberadaan si wanita hamil.
Hari pertama kerja di puskesmas Mekar Sari sangat membosankan. Aku hampir tidak mengerjakan apa-apa. Yang berobat sepi, apalagi yang bersalin atau konsultasi kehamilan. Sama sekali tidak ada.
Petugas di sini kebanyakan makan gaji buta. Tumpukan obat dibiarkan kedaluwarsa, lalu dibuang dan diganti dengan yang baru. Nasib obat yang baru pun pasti sama, ujung-ujungnya dibuang juga. Jarang sekali ada yang berobat ke puskesmas ini. Mereka lebih suka pakai jampe dibanding obat.
Dinda memang benar. Warga di kampung ini tidak percaya sama bidan. Mereka lebih suka pergi ke dukun atau paraji ketimbang minta bantuan bidan. Aku tidak bisa membayangkan selama bertahun-tahun makan gaji buta di sini.
Sore itu semua petugas puskesmas sudah pulang. Pak Sukra memberikan kunci puskesmas kepadaku. Malam ini aku mau menginap saja di puskesmas. Kebetulan ada hal yang mau kukerjakan. Aku akan menyusun rancangan penyuluhan terhadap masyarakat tentang pentingnya keselamatan saat bersalin.
Lebih dari itu, jujur saja aku masih trauma kalau harus pulang ke rumah Dinda. Ada yang tak beres sama mboknya. Dan, aku yakin bidan yang pernah tinggal di rumah Dinda juga mengalami hal yang sama.
Baca Saja: Dengan Bioglass Mci Indonesia Berikan Terobosan Terbaik Untuk Kesehatan Manusia
Selepas magrib kututup gerbang puskesmas lalu mengunci pintu rapat-rapat. Aku mulai bekerja menyusun rancangan dan materi untuk penyuluhan. Selang beberapa saat ada yang mengetuk pintu. Sepertinya ada yang mau berobat. Segera aku beranjak dari tempat duduk dan langsung membukakan pintu.
Di depanku berdiri seorang perempuan berbaju daster yang sedang hamil tua. Dia memegangi kandungannya sambil meringis kesakitan.
“Tolong aku, Bu!” katanya dengan suara yang tertahan.
“Ya ampun…! Silakan masuk, Bu,” kataku.
Jelas saja aku kaget dan langsung membawanya ke ruang rawat. Dia mengaduh kesakitan, ketubannya sudah pecah. Belum sempat kutangani, jabang bayi dalam perutnya malah keluar duluan. Wanita itu terengah-engah. Keringat membasahi wajahnya.
Bayi itu menangis dengan kencang dan saat hendak kupotong tali ari-arinya. Tiba-tiba saja bayi itu malah tersenyum. Kedua matanya membesar dan bekedip-kedip. Dia loncat dari pangkuanku lalu berjalan-jalan di lantai. Seluruh tubuhnya masih berlumur darah.
Aku berteriak sambil minta tolong. Wanita yang barusan melahirkan sekarang sudah beridiri di hadapanku. Wajahnya datar dan pucat. Dari mulutnya keluar darah kental warna hitam. Aku semakin menjerit histeris minta tolong.
Aku lari keluar puskesmas. Tapi, setibanya di halaman puskesmas aku bingung mau lari ke mana. Puskesmas itu jauh dari perkampungan warga. Kulihat wanita itu masih memperhatikanku dari balik jendela puskesmas sambil menggendong bayinya yang masih berlumur darah.