Halodunia.net – Dokter Kariadi, adalah seorang pejuang yang menangani wabah malaria dan filariasis. Dia gugur saat meneliti air yang diracun serdadu Jepang di Semarang.
Kariadi, pria yang lahir pada 15 September 1905 itu, lahir di sebuah desa bernama Singosari, Malang. Karena ketekunannya, dia berhasil menamatkan sekolah kedokteran Nederlandsch Indische Artsen School pada 1931.
Setelahnya, dia banyak berpindah tempat, untuk menjalankan profesi sebagai dokter. Pernah menjadi asisten dr Soetomo, Kariadi lantas bertugas di Manokwari (kini Papua). Selain bertugas sebagai dokter medis, dia juga melakukan penelitian tentang penyakit filariasis atau kaki gajah, dan penyakit malaria.
Guru Besar Ilmu Sejarah Unnes, Profesor Doktor Wasino mengungkapkan, Kariadi juga menemukan formula minyak kenanga untuk menggantikan immersion oil. Minyak tersebut diperlukan pada pemeriksaan spesimen darah pada mikroskop
Baca Juga : Wajib Tahu Manfaat Bioglass Sebenarnya
“Karena saat itu minyak imersi (untuk memperjelas penglihatan di bawah mikroskop) susah didapatkan, Kariadi menggunakan minyak (bunga) kenanga guna melakukan penelitian malaria,” ujarnya, yang dilansir dari laman jatengprov.go.id, Jumat (13/11/2020).
Diungkapkan Wasino, setelah bertugas di Manokwari, dia berpindah tempat kerja lagi. Mulai dari Kroya, Martapura dan terakhir di Semarang. Di Kota Lumpia, Kariadi ditunjuk sebagai kepala laboratorium Pusat Rumah Sakit Rakyat (Purusara), 1 Juli 1942. Pada masa itu, dia juga ditunjuk kepala jawatan pemberantasan malaria di Jawa Tengah.
Rupanya, Semarang menjadi pelabuhan terakhir pengabdian Kariadi. Suatu sore, di pertengahan Oktober 1945, tepatnya tanggal 14, Kariadi ditugaskan mengambil sampel air di tandon (reservoir) Siranda. Tersiar kabar, tentara Jepang meracuni pasokan air minum warga.
Bergegas, dia lantas berangkat dari rumahnya di Karangtempel 196 (kini jalan dr Cipto Semarang), menuju Siranda. Namun, baru mencapai sekitar Jalan Pandanaran (Bojong), dia dihalang-halangi oleh tentara Jepang.
Baca Juga : Rupiah Hari Ini Melemah Akibat Kasus Covid-19
“Dalam perjalanan Kariadi terbunuh. Meninggalnya Kariadi menjadi titik tolak pertempuran lima hari di Semarang,” ujar Wasino.
Menurut Wasino, sikap altruis (mendahulukan kepentingan orang lain), menjadi pribadi Kariadi. Dalam kegentingan, dia mengesampingkan kenyamanan rumah dan Soenarti istrinya yang juga seorang dokter, serta dua anaknya Numaya Kartini dan Sri Hartini.
“Selain altruis, dia (Kariadi) bekerja untuk kemanusiaan. Kasus (malaria) di (Manokwari) Papua misalnya, dia berusaha memahami penyakit untuk menyelamatkan orang Papua. Juga ketika dia hendak meneliti air yang diracun, dia melakukan tugas kemanusiaan bagi banyak orang, ” ujar Wasino yang juga wakil dekan bidang akademik Fakultas Ilmu Sosial Unnes.
Terpisah, Staf Biro Hukum dan Humas RSUP dr Kariadi, Parna menyebut, sosok Kariadi adalah teladan. Bukan hanya oleh warga, tapi para petugas medis yang kini berhadapan dengan pandemi Covid-19.
“Apalagi di tanggal 12 November, diperingati sebagai hari kesehatan nasional. Di tengah pandemi (Covid-19) kita prihatin, terlebih tenaga kesehatan. Ini titik balik, atau tolok ukur seberapa besar pengorbanan kita sebagai tenaga medis terhadap masyarakat, di musim pandemi, seperti sosok kariadi yang saat itu menghadapi penjajah, ” kata Parna.
Setelah meninggal jenazah Kariadi sempat dikebumikan di areal Purusara yang kemudian berganti nama jadi RSUP Dr Kariadi. Barulah pada 5 November 1961 kerangka Kariadi dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal Semarang.
Baca Juga : Berikut 7 Trik Pakai Heels Biar Kaki Enggak Sakit